Pemerintah Indonesia berencana untuk mengaktifkan kembali Ujian Nasional (UN) pada tahun pelajaran 2025-2026. Kembalinya UN ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan mengenai urgensinya dan dampaknya terhadap sistem pendidikan kita. Apakah keberadaan UN benar-benar diperlukan, ataukah hanya sebagai alat untuk menunjukkan perbedaan kebijakan antar-menteri pendidikan?
Pada dasarnya, keputusan untuk menyelenggarakan UN
atau tidak itu didasarkan pada urgensi yang jelas. Setiap kebijakan tentang pendidikan,
baik ada UN atau tidak, harus memiliki alasan yang kuat dan tujuan yang jelas
untuk kemajuan pendidikan nasional. Jangan sampai keputusan ini hanya didorong
oleh keinginan untuk memiliki kebijakan yang berbeda dari menteri sebelumnya
tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas pendidikan.
Yang lebih penting dalam sistem pendidikan kita
bukanlah ada atau tidaknya UN, tetapi kompetensi apa yang harus dimiliki oleh
siswa saat mereka memasuki dunia kerja dan kehidupan masyarakat. Pendidikan
harus fokus pada pengembangan kemampuan yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Apakah kurikulum kita sudah cukup mampu mengantisipasi hal ini? Jika kurikulum
dan ujian yang ada tidak mengakomodasi kebutuhan tersebut, maka adanya UN hanya
akan menjadi formalitas belaka, tanpa memberikan nilai tambah bagi peserta
didik.
Meskipun demikian, penerapan UN memang dapat
memberikan dampak baik untuk menghidupkan budaya belajar siswa. Keberadaan UN
mungkin akan mendorong siswa untuk lebih serius dalam belajar karena ada
penilaian yang jelas di akhir pendidikan. Namun, penting untuk dicatat bahwa
status UN sebagai penentu kelulusan harus dipertimbangkan dengan cermat. UN
seharusnya tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan, karena faktor-faktor
lain, seperti kompetensi yang dimiliki siswa selama proses belajar, juga sangat
penting.
Kriteria kelulusan harus mempertimbangkan kondisi
sekolah yang ada. Tidak semua sekolah di Indonesia memiliki fasilitas yang
sama, terutama di daerah pelosok. UN hanya mengukur pengetahuan akademik pada
waktu tertentu, sedangkan kelulusan harus mencakup pengukuran terhadap seluruh
kompetensi yang dimiliki siswa. Sekolah swasta, misalnya, memiliki latar
belakang yang berbeda dalam hal kurikulum dan sumber daya. Sehingga menurut
saya UN tidak bisa dijadikan satu-satunya patokan kelulusan.
Namun demikian saya sependapat jika UN di adakan.
Agar hasil UN mempunyai nilai, maka nilai UN harus mempunyai manfaat, yaitu
hasil dari UN menjadi satu penentu untuk masuk di jenjang selanjutnya. Dengan
demikian siswa dalam mengadapi UN memiliki memotivasi untuk belajar dan
menyiapknannya.
Sebagai gantinya, setiap sekolah harus memiliki
kriteria kelulusan yang jelas dan adil, yang mencakup berbagai aspek, termasuk
penilaian selama proses pembelajaran dan pencapaian kompetensi siswa. Kriteria
ini sebaiknya disahkan oleh birokrasi pendidikan yang menaungi sekolah agar
kriteria kelulusan siswa mempunyai dasar yang kuat.
Yoyok ABP